bekunya rindu memagut malam begitu ngilu
labirinpun dipenuhi lantunan-lantunan
kepalapun berputar mendengar ocehan tak henti
melangutkan nada sumbang tanpa kata
menunggu waktu akan menyerah pasrah
hujan ...
bisik kala senja semakin merah tembaga
dan akupun menggigil menahan getar
Thursday, January 7, 2016
Wednesday, January 6, 2016
semestinya kamulah rumahku
tempatku menyimpan keluh
meletakkan nyaman dalam keranjang cinta
menutup mata dari penat dunia
sepatutnya kamulah denyut nadiku
berdenyar di seluruh ruas tubuh
saat kita memainkan melodi kesunyian
dalam perjumpaan tubuh penuh keringat
"kita dalam irisan yang berbeda", tuturmu kelu
dan selembar daun menguning hinggap di beranda berdebu
tempatku menyimpan keluh
meletakkan nyaman dalam keranjang cinta
menutup mata dari penat dunia
sepatutnya kamulah denyut nadiku
berdenyar di seluruh ruas tubuh
saat kita memainkan melodi kesunyian
dalam perjumpaan tubuh penuh keringat
"kita dalam irisan yang berbeda", tuturmu kelu
dan selembar daun menguning hinggap di beranda berdebu
aku bukanlah malaikat bersayap dua
ang kedua sayapnya berkilau ditimpa cahaya
aku hanyalah wanita biasa
dengan hanya satu sayap
itupun terluka
aku bukanlah seorang penyair terhebat
yang bisa menghujanimu dengan puisi-puisi lekat
membelaimu dengan kata-kata penuh hasrat
atau bahkan menjejalimu ribuan penat
aku hanya punya cinta
cinta wanita biasa
yang tak menjanjikan apa-apa
selain rasa sepanjang sisa usia
menemanimu duduk di beranda
saat senja menembaga
menyaksikan anak-anak kita kelak tertawa
menatap purnama
hingga kita tiba di penghujung masa
ang kedua sayapnya berkilau ditimpa cahaya
aku hanyalah wanita biasa
dengan hanya satu sayap
itupun terluka
aku bukanlah seorang penyair terhebat
yang bisa menghujanimu dengan puisi-puisi lekat
membelaimu dengan kata-kata penuh hasrat
atau bahkan menjejalimu ribuan penat
aku hanya punya cinta
cinta wanita biasa
yang tak menjanjikan apa-apa
selain rasa sepanjang sisa usia
menemanimu duduk di beranda
saat senja menembaga
menyaksikan anak-anak kita kelak tertawa
menatap purnama
hingga kita tiba di penghujung masa
apakah hati kita masih menyisa cinta
ketika pada malam-malam panjang kuurai gerimis
dari mata yang mengalirkan cinta
apakah rindu itu masih tereja
kala lautan teramat luas merentang batas
melemparkan angan hingga mabuk terbuai ombak
apakah kau dengar pekikan camar
yang menyaring melengking tinggi
menjeritkan nada keputusasaan mencekik leher
hingga melelahkan sayapnya mengepak pulang
ketika pada malam-malam panjang kuurai gerimis
dari mata yang mengalirkan cinta
apakah rindu itu masih tereja
kala lautan teramat luas merentang batas
melemparkan angan hingga mabuk terbuai ombak
apakah kau dengar pekikan camar
yang menyaring melengking tinggi
menjeritkan nada keputusasaan mencekik leher
hingga melelahkan sayapnya mengepak pulang
Subscribe to:
Comments (Atom)